Jumat, 28 Juni 2013

enzim prodak ternak

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA NAMA : RIZAL TUDHONNI NIM : C31120994 JUDUL ACARA : JENIS ENZIM PADA PRODAK PETERNAKAN Dosen pembimbng : Nurcholis sp.t. mp PRODUKSI TERNAK PETERNAKAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN POLITEKNIK NEGERI JEMBER TAHUN AJARAN 2012 – 2013 NAMA : RIZAL TUDHONNI NIM : C31120994 Pemanfaatan Enzim dalam Industri Pakan I. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Peternakan merupakan sumber pangan strategis sepanjang masa yang menyediakan daging, susu, telur dan produk-produk olahannya. Karena itu pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan sangat strategis untuk dikembangkan. Populasi ternak dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI jumlah populasi Ruminansia, Non-Ruminansia dan Unggas di Indonesia pada tahun 2008 adalah berturut-turut 40.667.000 ekor, 8.579.000 ekor dan 1.528.792.000 ekor. Seiring dengan pertumbuhan jumlah populasi ternak, pertumbuhan industri pakan ternak juga berkembang dengan pesat. Pada tahun 2007, pabrik pakan ternak yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia memproduksi pakan ternak sebanyak 7.800.033 ton. Tingginya permintaan pakan ternak pabrikan, membuat para ahli nutrisi pakan ternak berlomba-lomba mencari formulasi produk pakan yang dapat menghasilkan produk daging, susu, telur berlipat ganda. Di negara barat seperti Jerman, Perancis, Swedia, USA sudah sejak lama menggunakan zat promotor seperti antibiotik untuk meningkatkan produksi ternaknya dan sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa promotor pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadinya peningkatan pendapatan peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan akibat efek buruk yang ditimbulkan tidak hanya bagi ternak tetapi juga bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ternak tersebut melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun telur (Samadi, 2004). Di dalam tubuh makhluk hidup terutama di dalam saluran pencernaannya terdapat bakteri-bakteri baik yang bersifat menguntungkan maupun merugikan. Keseimbangan antara bakteri-bakteri yang menguntungkan dan merugikan sepatutnya menjadi perhatian lebih demi terciptanya hidup yang sehat bagi manusia dan produksi yang tinggi bagi ternak. Keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia setidaknya 85% berbanding 15% (Samadi, 2004). Lebih lanjut Samadi (2004) menjelaskan bahwa dengan komposisi tersebut fungsi “barrier effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri phatogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak. Kehadiran antibiotik dalam saluran pencernaan dapat mengubah keseimbangan bakteri yang menguntungkan dan yang merugikan. Antibiotik dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri phatogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri phatogen (Samadi, 2004). Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikro-organisme phatogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli. Dibagian lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Seperti dilaporkan oleh Rusiana dengan meneliti 80 ekor ayam broiler di Jabotabek menemukan 85% daging ayam broiler dan 37% hati ayam tercemar residu antibiotik tylosin, penicilin, oxytetracycline dan kanamycin (www.poultryindonesia.com). Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan bertahun-tahun untuk mencari bahan tambahan dalam pakan ternak sebagai pengganti antibiotik yang berbahaya tersebut (Sumardi, 2002). Enzim adalah salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pakan ternak yang aman untuk ternak, manusia yang mengkonsumsi hasil ternak maupun bagi lingkungan. 2. Tujuan Tulisan ini menyajikan uraian mengenai manfaat penggunaan enzim dan prospeknya dalam industri pembuatan pakan ternak yang aman dan efisien. II. PERAN ENZIM DALAM INDUSTRI PAKAN TERNAK 1. Proses Pencernaan Hewan Ternak Pencernaan adalah proses lanjutan dari pengambilan pakan (feed intake) oleh makhluk hidup sebagai persiapan untuk proses penyerapan nutrien yang akan dimanfaatkan lebih lanjut oleh sel tubuh. Dalam proses pencernaan terjadi perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan selama di dalam alat pencernaannya. Proses pencernaan pada hewan pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu pencernaan hidrolitik atau enzimatis dan pencernaan fermentatif. Pencernaan hidrolitik atau enzimatis: pencernaan yang dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan. Pada pencernaan hidrolitik ini polimer dipecah menjadi monomer, misalnya karbohidrat dipecah menjadi glukosa, atau protein dipecah menjadi asam amino. Pencernaan fermentatif: Proses pencernaan yang dilakukan atas bantuan mikroba. Pada proses pencernaan fermentatif zat makanan dirombak menjadi senyawa lain yang berbeda sifat kimianya sebagai zat intermediate. Proses pencernaan pada hewan berbeda satu dengan yang lainnya dan sangat berhubungan dengan alat pencernaan yang dipunyai oleh hewan tersebut. Perbedaan alat pencernaan hewan dapat dibedakan menjadi : Pencernaan : Karnivora: kelompok hewan pemakan daging (makanan asal hewan), mempunyai gigi taring untuk mencabik makanannya, perutnya tunggal (monogastrik) dan sederhana Herbivora : kelompok hewan pemakan tumbuhan. Alat pencernaan herbivora lebih panjang dan lebih kompleks serta telah mengalami modifikasi yang memungkinkan herbivora dapat menggunakan serat (selulosa dan polisakarida lain seperti hemiselulosa) dalam jumlah reletif banyak Omnivora: kelompok hewan yang memiliki berperut tunggal. Alat pencernaannya relatif lebih panjang, lebih kompleks dan cecum-colonnya (usus besar) lebih berkembang karena sebagian pakannya adalah nabati yang mengandung serat. Monogastrik: hewan berperut tunggal dan sederhana. Alat pencernaannya terdiri dari mulut, esophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum. Sistem pencernaannya disebut simple monogastric system. Poligastrik: hewan berperut ganda (kompleks) seperti ruminansia sejati (hewan yang mempunyai rumen) yaitu sapi kerbau, kambing, domba, rusa, anoa, antelope dan pseudo-ruminant (onta, llama). Sistem pencernaannya disebut pollygastric system. Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perutjala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu), dan abomasum (perut sejati). Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagaiperut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Pada organ ini dilaporkan juga menghasilkan amonia dan mungkin asam lemak terbang (Frances dan Siddon, 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang lambung adalah sekum, kolon dan rektum. Pada pencernaan bagian belakangtersebut juga terjadi aktivitas fermentasi. Proses pencernaan pada ternak ruminansia dapat terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba rumen dan secara hidrolis oleh enzim-enzim pencernaan. Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakanditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaianproses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi danpenyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untukpergerakan digesta meninggalkan retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tilman et al. 1982). 2. Pengertian Enzim dan cara Kerjanya Enzim terdapat secara alami pada semua organisme hidup dan berperan sebagai katalisator dalam reaksi kimia. Istilah enzim mulai diperkenalkan pertama kali tahun 1878 oleh Kuhne yang mengisolasi senyawa enzim dari ragi sedangkan konsep kerja enzim dikembangkan oleh Emil Fischer di tahun 1894 yang mempopulerkan istilah “gembok dan kunci” untuk menjelaskan interaksi substrat enzim. Saat ini lebih dari 3000 enzim telah diidentifikasi. Seperti halnya protein, enzim juga tersusun dari rantai asam amino. Enzim ini akan mempercepat reaksi kimia dengan cara menempel pada substrat dan keseluruhan proses reaksi akan stabil dan menghasilkan kompleks enzim substrat. Dengan bantuan enzim ini, energi yang digunakan untuk menggerakan proses reaksi kimia menjadi lebih kecil. Enzim akan bekerja pada kondisi lingkungan yang tidak mengubah struktur aslinya yaitu yang paling baik pada suhu dan pH menengah. Alasan utama penggunaan enzim dalam industri makanan ternak adalah untuk memeperbaiki nilai nutrisinya. Semua binatang menggunakan enzim dalam mencerna makanannya, dimana enzim tersebut dihasilkan baik oleh biantang itu sendiri maupun oleh mikroorganisme yang ada pada alat pencernaannya. Namun demikian proses pencernaan tidak mencapai 100 % dari bahan makanan yang dicerna, karena itu perlu ada suplemen enzim pada pakan untuk meningkatkan efisiensi pencernaannya. Di dalam sistem produksi peternakan, pakan ternak menempati komponen biaya yang paling besar karena itu keuntungan peternakan akan tergantung dari biaya reltif dan biaya nilai nutrisi pada makanan. Ada empat alasan utama untuk menggunakan enzim dalam industri pakan ternak (Bedford dan Partridge, 2001) yaitu: Untuk memecah faktor anti-nutrisi yang terdapat di dalam campuran makanan. Kebanyakan dari snyawa tersebut tidak mudah dicerna oleh enzim endogeneous di dalam ternak, dapat mengganggu pencernaan normal. • Untuk meningkatkan ketersediaan pati, protein dan garam mineral yang terdapat pada dinding sel yang kaya serat, karena itu tidak mudah dicerna oleh enzim pencernaan sendiri atau terikat dalam ikatan kimia sehingga ternak tidak mampu mencerna (contoh: pospor dalam asam pitat) • Untuk merombak ikatan kimia khusus dalam bahan mentah yang biasanya tidak dapat dirombak oleh enzim ternak itu sendiri. • Sebagai suplemen enzim yang diproduksi oleh ternak muda yang mana sistem pencernaannya belum sempurna sehingga enzim endogeneous kemungkinan belum mencukupi. III. JENIS-JENIS ENZIM DALAM INDUSTRI PAKAN TERNAK Terdapat empat type enzim yang mendominasi pasar pakan ternak saat ini yaitu enzim untuk memecah serat, protein, pati dan asam pitat (Sheppi, 2001). 1. Enzim Pemecah Serat Keterbatasan utama dari pencernaan hewan monogastrik adalah bahwa hewan-hewan tersebut tidak memproduksi enzim untuk mencerna serat. Pada ransum makanan ternak yang terbuat dari gandum, barley, rye atau triticale (sereal viscous utama), proporsi terbesar dari serat ini adalah arabinoxylan dan ß-glucan yang larut dan tidak larut (White et al., 1983; Bedford dan Classen, 1992 diacu oleh Sheppy, 2001). Serat yang dapat larut dan meningkatkan viskositas isi intestin yang kecil, mengganggu pencernaan nutrisi dan karena itu menurunkan pertumbuhan hewan. Kandungan serat pada gandum dan barley sangat bervariasi tergantung pada varitasnya, tempat tumbuh, kondisi iklim dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan variasi nilai nutrisi yang cukup besar di dalam ransum makanan. Untuk memecah serat, enzim-enzim xylanase dan ß-glucanase) dapat menurunkan tingkat variasi nilai nutrisi pada ransum dan dapat memberikan perbaikan dari pakan ternak sekaligus konsistensi responnya pada hewan ternak. Xylanase dihasilkan oleh mikroorganisme baik bakteri maupun jamur. Penelitian pemanfaatan xilanase untuk membuat ransum ayam boiler telah dilakukan oleh Van Paridon et al. (1992), dengan melihat penga-ruhnya terhadap berat yang dicapai dan efisiensi konversi makanan ser-ta hubungannya dengan viskositas pencernaan. Hal yang sama juga di-lakukan oleh Bedford dan Classen (1992), yang melaporkan bahwa ransum makanan ayam boiler yang diberi xilanase yang berasal dari T.longibrachiatum mampu mengurangi viskositas pencernaan, sehingga meningkatkan pencapaian berat dan efisiensi konversi makanan. Pius P Ketaren, T. Purwadaria dan A. P Sinurat dari Balai Penelitian Ternak, Bogor, juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh suplementasi enzim pemecah serat kasar terhadap penampilan ayam pedaging. Suplementasi diberikan dengan menambahkan enzim xilanase kedalam ransum basal dedak atau polar. Penelitian ini menggunakan 120 anak ayam pedaging umur sehari yang dialokasikan secara acak kedalam 20 kandang yang masing-masing berisi 6 ekor. Ayam-ayam tersebut dikenai 4 perlakuan. Perlakuan I, ayam diberi ransum basal 30% dedak (RBD). Perlakuan II, ransum RBD + 0,01% enzim xilanase (RBD + E). Perlakuan III diberi ransum basal 30% polar (RBP) dan perlakuan IV dengan ransum RBP + 0,01% enzim xilanase (RBP + E). Setiap perlakuan diulang 5 kali dan tiap ulangan terdiri dari 6 ekor. Seluruh kandang/pen ditempatkan dalam bangunan tertutup yang dilengkapi dengan lampu penerang, pemanas dan pengatur sirkulasi udara, yang diatur sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan ransum dan air minum disediakan secara tak terbatas. Anak ayam juga divaksin pada umur 4 dan 21 hari untuk mencegah ND dan pada umur 14 hari untuk mencegah Gumboro. Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB), feed conversion ratio (FCR) dan mortalitas digunakan sebagai parameter dan diukur setiap minggu selama 5 minggu perlakuan. Hasil riset memperlihatkan PBB ayam pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim cenderung tumbuh lebih cepat dibanding ayam pedaging yang memperoleh ransum lain. Dalam penelitian ini, suplementasi enzim xilanase sebanyak 0,01% kedalam ransum basal dedak maupun polar tidak berpengaruh negatif terhadap penampilan broiler. Hal ini tampak dari tidak adanya mortalitas selama penelitian berlangsung. FCR ayam pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim secara nyata lebih baik dibanding ransum FCR ayam pedaging yang diberi ransum lain. Berdasarkan penampilan ayam pedaging tersebut terlihat bahwa suplementasi enzim kedalam ransum basal polar mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ransum sekitar 4%, sebaliknya suplementasi enzim kedalam ransum basal dedak tidak mampu memperbaiki efisiensi penggunaan ransum ayam pedaging. Ini membuktikan bahwa enzim xilanase yang digunakan dalam penelitian ini lebih efektif apabila digunakan pada polar, yang diketahui mengandung lebih banyak xilan/pentosan atau glucan dibanding dedak. Peningkatan penampilan ayam pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim xilanase ini, kemungkinan juga berkaitan dengan peningkatan kecernaan protein dan lemak disamping kenaikan kecernaan serat kasar. Dengan peningkatan kecernaan gizi dan pertumbuhan unggas tersebut, dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan pakan lokal yang tersedia di dalam negeri. Kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian perunggasan nasional.( www.poultryindonesia.com) 2. Enzim Pemecah Protein Berbagai bahan mentah yang digunakan sebagai bahan pakan ternak mengandung protein. Terdapat variasi kualitas dan kandungan protein yang cukup besar dari bahan mentah yang berbeda. Dari sumber bahan protein primer seperti kedelai, beberapa faktor anti nutrisi seperti lectins dan trypsin inhibitor dapat memicu kerusakan pada permukaan penyerapan, karena ketidaksempurnaan proses pencernaan. Selain itu belum berkembangnya sistem pencernaan pada hewan muda menyebabkan tidak mampu menggunakan simpanan protein yang besar di dalam kedelai (glycin dan ß-conglycinin). Penambahan protease dapat membantu menetralkan pengaruh negatif dari faktor anti-nutrisi berprotein dan juga dapat memecah simpanan protein yang besar menjadi molekul yang kecil dan dapat diserap. 3. Enzim pemecah Pati Jagung merupakan sumber pati yang sangat baik sehingga para ahli gizi menyebutnya sebagai bahan mentah standard emas. Sebagian besar ahli gizi tidak mempertimbangkan pencernaan jagung adalah jelek: kenyataannya bahwa 95 % dapat dicerna. Namun hasil penelitian Noy dan Sklan (1994) yang diacu oleh Sheppi (2001), pati hanya dicerna tidak lebih dari 85 % pada ayam broiler umur 4 dan 21 hari. Penambahan enzim amylase pada makanan ayam dapat membantu mencerna pati lebih cepat di intestin yang kecil dan pada gilirannya dapat memperbaiki kecepatan pertumbuhan karena adanya peningkatan pengambilan nutrisi. Pada masa aklimatisasi, anak ayam sering menderita shok karena perubahan nutrisi, lingkungan dan status imunitasnya. Penambahan amilase, biasanya juga bersamaan dengan penambahan enzim lain, untuk meningkatkan produksi enzim endogeneous telah terbukti dapat memperbaiki pencernaan nutrisi dan penyerapannya. 4. Enzim Pemecah Asam pitat Phospor merupakan unsur esensial untuk semua hewan, karena diperlukan untuk mineralisasi tulang, imunitas, fertilitas dan juga pertumbuhan. Swine dan Unggas hanya dapat mencerna Phospor dalam bentuk asam pitat yang terdapat dalam sayur sekitar 30-40 %. Phospor yang tidak dapat dicerna akan keluar bersama kotoran (feces) dan menimbulkan pencemaran. Enzim pytase dapat memecah asam pytat, maka penambahan enzim tersebut pada pakan ternak akan membebaskan lebih banyak phospor yang digunakan oleh hewan. Enzime phytase banyak dikenal dapat menghilangkan pengaruh anti nutrisi asam phitat. Penggunaan enzime phytase dalam pakan akan mengurangi keharusan penambahan sumber-sumber fosfor anorganik mengingat fosfor asal bahan baku tumbuhan terikat dalam asam phitat yang mengurangi ketersediaannya dalam pakan. Padahal suplementasi fosfor anorganik misalnya mengandalkan di calcium phosphate maupun mono calcium phosphate relatif mahal belakangan ini. Di samping itu, fosfor yang terikat dalam asam phitat yang tidak bisa dicerna sempurna oleh sistem pencernaan hewan monogastrik akan ikut dalam feses dan menjadi sumber polutan yang berpotensi mencemari tanah. Fosfor adalah tidak terurai dalam tanah sehingga dalam jangka panjang, pembuangan feses dengan kandungan fosfor tinggi akan menimbulkan masalah bagi tanah. Terdapat dua keuntungan menggunakan phytase dalam pakan ternak yaitu (1) pengurangan biaya pakan dari pengurangan suplemen P pada makanan dan (2) pengurangan polusi dari berkurangnya limbah melalui feces. Sumber Phytase Phytase dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu 6-phytase dan 3-phytase. Penggolongan ini berdasarkan pada tempat awal molekul phytat dihidrolisis. 6-phytase umumnya ditemukan dalam tanaman, sedangkan 3-phytase dihasilkan oleh jamur (mikroorganisme) (Dvorakova, 1998, diacu oleh Maenz, 2001). 1. Phytase Tanaman Hampir semua tanaman mempunyai aktivitas phytase namun jumlah dan aktivitasnya sangat bervariasi cukup besar antar tanaman. Eeckhout dan De Paepe (1994) telah mengevaluasi level phytase pada 51 feedstuffs yang digunakan di Belgia dan menyimpulkan bahwa aktivitas phytase terdapat pada biji sereal seperti rye, triticale, gandum, barley sedangkan feedstuff lainnya termasuk kedelai mengandung aktivitas phytase yang sangat rendah (Maenz, 2001). Kandungan P pada wheat untuk makanan unggas berkisar 45 sampai 70 % (Barrier-Guillot et al, 1996, diacu oleh Maenz, 2001). Lebih lanjut Barrier-Guillot et al., 1996) mengukur aktivitas phytase pada 56 contoh gantung yang tumbuh di Perancis tahun 1992 dan mendapatkan variasi aktivitas phytase antara 206 sampai 775 mU per gram. Studi yang dilakukan oleh Kemme et al., (1998) diacu oleh Maenz (2001) terhadap degradasi asam pitat pada pencernaan babi (pigs) menunjukkan bahwa, bila diberi makan jagung, maka tingkat degradasinya adalah 3 %, phytase pada jagung 91 unit/kg, diberi makan campuran jagung-barley, tingkat degradasinya 31 %, phytase pada campuran gandum-barley 342 unit/kg dan jika diberi makan campuran gandum-barley, tingkat degradasinya 47 %, kandungan phytase pada campuran ini adalah 1005 unit/kg. Studi ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan phytase pada gandum dan barley dapat membantu meningkatkan tingkat kecernaan asam phytat pada hewan. 2. Phytase Mikroorganisme Enzime hydrolitik yang menguraikan asam phytat dihasilkan oleh berbagai macam mikroorganisme. Dvorakova (1998) yang diacu oleh Maenz (2001) mengatakan bahwa ada 29 jenis jamur, bakteri dan ragi yang menghasilkan enzime phytase. Dari 29 jenis tersebut, 21 jenis diantaranya menghasilkan enzime phytase extraceluler. Strain jamur Aspergilus niger menghasilkan aktivitas phytase extraseluler yang tinggi (Volfova et al., 1994) yang diacu oleh Maenz (2001). IV. TANTANGAN PENGGUNAAN ENZIM PADA INDUSTRI PAKAN TERNAK DIMASA YANG AKAN DATANG Enzim mempunya sifat yang unik, akan menunjukkan aktivitasnya pada kondisi lingkungan yang cocok, baik pH maupun Suhu. Masing-masing jenis enzim mempunya kisaran pH dan suhu optimalnya. Pelet pakan ternak dibuat melalui proses pemanasan pada suhu tinggi, karena itu kestabilan enzim terhadap perlakuan panas pada industri pakan sangat diperlukan. Enzim bekerja sebagai katalisator untuk mempercepat suatu proses reaksi kimia, karena itu aktivitasnya juga akan ditentukan oleh dosis enzim itu sendiri. Pemberian enzim exogeneous harus mempertimbangkan juga enzim endogeneous yang sudah ada pada hewan, karena itu sebelum membuat formulasi produk harus dilakukan penelitian terlebih dahulu dan dilihat performance hewannya pada berbagai tingkatan umur. Metoda analisis yang mudah dan tepat untuk menentukan jumlah enzim yang aktif juga merupakan suatu tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dari para ilmuwan, Dengan adanya metode analisis yang akurat dan cepat makan akan sangat mempermudah pembuatan formulasi produk pakan ternak. Walaupun telah terbukti bahwa suplemen enzim dapat meningkatkan produksi ternak, namun karena untuk mendapatkan enzim itu sendiri tidak mudah maka produk pakan ternak berenzim harganya menjadi mahal, karena itu komponen biaya lain dari produksi pakan sedapat mungkin dapat ditekan sehingga akan menurunkan harga pakan ternak berenzim. Hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian untuk mendapatkan enzim secara mudah dan murah. Indonesia merupakan negara yang mempunya julukan megadiversiti, karena itu explorasi untuk mendapatkan sumber penghasil enzim baru sangat dimungkinkan, baik dari jamur maupun bakteri. Saat ini belum banyak enzim termostabil yang dihasilkan dari Indonesia, padahal sumber-sumber baik bakteri maupun jamur dari lokasi kawah sangat berlimpah. V. PENUTUP Pada saat ini enzim sudah mulai dipergunakan secara meluas untuk tujuan-tujuan industri pakan ternak dengan mempertimbangkan berbagai macam keuntungan-keuntungan yang nyata. Enzim bersifat tidak beracun, alami dan segera menjadi tidak aktif apabila reaksi sudah mencapai titik yang dikehendaki. Enzim bekerja secara spesifik pada substrat yang kebanyakan terdapat di dalam bahan makanan ternak baik berupa protein, selulose, hemiseslulase maupun sumber P pada asam phytat yang kesemuanya merupakan bentuk molekul besar yang tidak bisa diserap dan digunakan langsung. Agar supaya dapat diserap dan digunakan langsung, maka molekul-molekul besar tersebut harus dipecah menjadi molekul sederhana yang mudah diserap dan digunakan oleh hewan. Pemecahan molekul ini akan dipercepat oleh adanya enzim specifik, namun tidak semua hewan mampu menghasilkan enzim-enzim yang diperlukan. Enzime eksogenus lebih banyak digunakan sebagai bahan tambahan (suplement) dalam pakan unggas untuk memperbaiki pencernaan karbohidrat. Penambahan enzim ke dalam pakan unggas bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan nilai kecernaan dari bahan baku tertentu yang dalam kondisi normal mempunyai kendala untuk tingkat penggunaan yang lebih tinggi. Enzim yang ditambahkan sebagai suplemen membantu menurunkan viskositas gel dalam saluran pencernaan, memperbaiki jalan masuk enzim endogenus kepada cadangan-cadangan nutrisi, dan membebaskan nutrisi-nutrisi yang terperangkap seperti gula sederhana dan lysine. Enzim dapat memperbaiki tingkat kecernaan non starch polysaccharides (NSP) seperti selulosa dan pektin yang tidak mudah tercerna oleh enzim-enzim pencernaan. NSP (beta glucans dan pentosan) juga diketahui memerangkap banyak nutrisi-nutrisi penting dalam sel-sel tumbuhan dan bagian-bagian terlarutnya menyebabkan peningkatan viskositas saluran pencernaan dalam usus yang mengurangi efektivitas enzim endogenus dan memperlambat pergerakan bahan makanan di saluran pencernaan. Pada prinsipnya penambahan enzim dalam pakan bertujuan untuk menyingkirkan faktor anti nutrisi yang lazim terdapat dalam bahan baku asal tanaman. Peranan anti nutrisi dalam bentuk menghambat pencernaan nutrisi yang mengarah pada menurunnya enerji metabolis bahan, pertumbuhan yang rendah, konversi pakan yang buruk, kotoran basah yang menghasilkan telur-telur yang kotor dan masalah sampah. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan daya cerna bahan, membuat nutrisi-nutrisi tertentu secara biologis lebih tersedia, dan mengurangi dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh kotoran unggas (ayam). Penambahan enzim pada pakan ternak telah terbukti meningkatkan daya cerna makanan, namun demikian karena dalam proses produksi pakan ternak menggunakan suhu yang cukup tinggi, maka diperlukan enzim-enzim yang sifatnya tahan terhadap suhu tinggi. Explorasi enzim-enzim pemecah pati, protein, asam phytat masih sangat terbuka luas mengingat di daerah tropis merupakan megadiversitas tidak menutup kemungkinan banyak mikroorganisme yang menghasilkan enzim-enzim yang dimaksud. DAFTAR PUSTAKA Bath, MK and GP Hazlewood. 2001. Enzymology and Other Characteristics of Cellulases and Xylanases. In Enzimes in Farm Animal Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge (Eds). CABI Publishing. UK Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Dirjen Peternakan Departemen Pertanian RI. Pugh, R and Chalfont D, 1993. The Scope for Enzymes in Commercial Feed Formulations. In Asia Pacific Lecture Alltech. Richana, N. 2002. Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia. Buletin AgroBio 5(1):29-36, 2002 Maenz, D.D. 2001. Enzimatic Characteristics of Phytases as they Relate to Their Use in Animal Feeds. In Enzimes in Farm Animal Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge (Eds). CABI Publishing. UK

1 komentar:

  1. Ini adalah Bpk. Benjamin yang menghubungi rincian Email, lfdsloans @ outlook.com. / lfdsloans@lemeridianfds.com Atau Whatsapp 1 989-394-3740 yang membantu saya dengan pinjaman 90.000,00 Euro untuk memulai bisnis saya dan saya sangat bersyukur, sangat sulit bagi saya di sini untuk mencoba membuat hal-hal sebagai ibu tunggal tidak mudah dengan saya tetapi dengan bantuan Le_Meridian memberikan senyum di wajah saya ketika saya melihat bisnis saya tumbuh lebih kuat dan berkembang juga. Saya tahu Anda mungkin terkejut mengapa saya meletakkan hal-hal seperti ini di sini tetapi saya benar-benar harus mengucapkan terima kasih jadi siapa pun yang mencari bantuan keuangan atau melalui kesulitan dengan bisnis yang ada atau ingin memulai proyek bisnis dapat melihat hal ini dan memiliki harapan untuk keluar dari kesulitan..Terima Kasih.

    BalasHapus